Kamis, 23 Februari 2012

Bertengkar Dengan Indah


Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: “Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!”
Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati saat – saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat – saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi.
Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk hikmah. Betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan – pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa – basi tanpa emosi. Tulisan ini murni non politik, jadi jangan tergesa – gesa membacanya. Bacalah dengan sabar, lalu renungi dengan baik, setelah itu terapkan dalam keseharian kita.. Setuju? 
Suatu ketika seseorang berbincang dengan orang yang akan menjadi teman hidupnya, dan salah satunya bertanya: “Apakah ia bersedia berbagi masa depan dengannya?” dan jawabannya tepat seperti yang diharap. Mereka mulai membicarakan seperti apa suasana rumah tangga ke depan. Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala mereka bertengkar. Dari beberapa perbincangan hingga waktu yang mematangkannya, tibalah mereka pada sebuah Memorandum of Understanding, bahwa kalaupun harus bertengkar, maka:
1.      Kalau bertengkar tidak boleh berjama’ah, cukup seorang saja yang marah – marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama’ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika seorang marah dan yang lain ingin menyela, segera ia berkata “STOP. Ini giliran saya.” Ia harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum dan berkata dalam hati: “Kamu makin cantik kalau marah, makin energik..” dan dengan diam itupun kita merasa telah beramal sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi. “Duh kekasih.. Bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega. Maka di padang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu.”

2.      Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan  ungkit yang telah terlibat masa (maksudnya masa lalu kita). Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah.
Siapapun tidak akan suka bila dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran diantara orang yang masih mempunyai harapan hanyalah sebuah foreplay. Sedangkan pertengkaran antara dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya adalah ‘ungkapan rindu yang keras’. Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh. Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah, maka itu adalah ‘harapan ingin disayangi lebih tinggi’. Tapi kalau itu dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan, “Sudah tidak suka lagi ya dengan saya?”, maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups.. Saya telah membunuhnya, membunuh cintanya.
Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah. Marahlah, tapi untuk kesalahan semasa. Saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini.

3.      Kalau marah jangan bawa – bawa keluarga saya. Dengan isteri saya baru terikat beberapa masa, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Qur’an, seseorang itu tidak menanggung kesalahan pihak lain (QS. 53: 38 – 40)
Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan coba – coba. Begitupun dia, smenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di  dunia ini selain dia. Karenanya mengapa harus bawa – bawa barang lain ke kancah awal ‘cinta yang panas’ ini. Kata ayah saya: “Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak.” Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah – tambah dengan memusuhi mertua.

4.      Kalau marah jangan didepan anak – anak, anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orangtuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu kan bapak saya. Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar:

*Ibu: “Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu?!”

*Bapak: “Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda?!”

*Anak: “.........yaaa...... Ibu saya babu, bapak saya kuda... Terus saya ini apa???”

Kita harus berani berkata: “Hentikan pertengkaran!” Ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita?

5.      Kalau marah, jangan lebih dari satu waktu sholat, pada setiap tahiyyat kita berkata: “Assala-mu ‘alaynaa wa ‘alaa’ibaadilahissholiihiin”. Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba – hambaMu yang sholeh..
Nah, andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawa kita ditanganNya.
Oke, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi.. marahlah setelah Shubuh, tapi jangan lewat waktu Dzuhur, atau Maghrib sebatas Isya.. Atau setelah Isya sebatas....?
Engg, sepertinya kita sepakat kalau setelah Isya sebaiknya memang tidak bertengkar.

6.      Kalau kita saling mencinta, kita harus saling memaafkan, tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah ‘proses belajar untuk mencintai lebih intens’.
Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki – maki.


Ini saja, semoga bermanfaat. Dengan ucapan syahadat itu berarti kiata menyatakan diri untuk bersedia dibatasi.

*Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar tapi bodoh*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar